Andreas Harsono
Suara Merdeka, 22 November 1991
Pengantar Redaksi: Beberapa bulan yang lalu Andreas Harsono, diundang oleh Southeast Asia Information Center, sebuah pusat informasi tentang Asia Tenggara di Jerman, dengan disponsori oleh Bread for the World, untuk mengunjungi negeri tersebut, kurang lebih sebulan, pekerja sosial di Salatiga itu akan mengikuti program “Tukar Pikiran Indonesia-Jerman: Ekologi dan Lingkungan Hidup” Berikut sebagian dari catatan perjalanannya.
Lampu-lampu bandar udara Bangkok, dari udara perlahan-lahan mulai kelihatan. Bentuk kotak-kotak persegi panjang, bersamaan dengan pendaratan pesawat Lufthansa yang saya naiki bersama lima rekan lain dari Indonesia. Kami dipersilahkan menunggu satu jam di bandar udara Bangkok sambil menunggu pergantian awak pesawat.
Kesempatan ini saya pergunakan untuk melihat-lihat bandar udara Bangkok. Bahasa Inggris yang sudah saya pelajari bertahun-tahun mulai meluncur dari mulut saya untuk keperluan berkomunikasi. Saya jadi teringat bagaimana saya bisa sampai mengikuti program tukar pikiran Indonesia-Jerman ini.
Perjalanan ini mulanya datang dari Candra Kirana, seorang swadayawati di Surakarta, yang menanyakan kepada saya bahwa kalau-kalau saya bisa mengikuti sebuah program “jalan-jalan” ke Jerman. Kebetulan masih ada tempat satu kosong dari enam tempat yang disediakan.
Tujuannya, seperti yang disebutkan oleh Peter Franke, koordinator South East Asia Information Centre, “The study program intends to give a group of Indonesians an insight in ecological and environmental enterprises, living areas and ecological institutions as well as an information exchange with German farmers, organisers of ecological project etc.”
Tawaran ini mengejutkan. Seumur-umur belum pernah saya pergi ke luar negeri. Dan untuk pergi ke tempat sejauh Jerman merupakan mimpi. Memang ada beberapa tawaran terdahulu namun tak terlaksana. Jadi dari pada kecewa, dengan hati-hati, saya katakan pada rekan tersebut, saya bersedia ikut apabila saya memang memenuhi persyaratan yang disebutkan.
Lantas kami terlibat pembicaraan soal penyelesaian kasus waduk Kedung Ombo di Boyolali. Sampai hari ini persoalan ganti rugi tanah di wilayah genangan waduk Kedung Ombo belum tuntas. Masih ada sebagian warga, karena alasan-alasan yang masuk akal, tetap bertahan di wilayah genangan.
Maksud saya, persoalan Kedung Ombo muncul karena adanya kebutuhan energi listrik dalam jumlah besar. Karena butuh listrik maka dibuatlah sebuah dam raksasa, berarti ada banyak tanah rakyat yang terpaksa digenangi air. Proses pembebasan tanahnya kacau, sehingga muncullah persoalan tanah, intimidasi, pelanggaran hak asasi manusia dan lain-lain. Dasarnya tetap sama: kebutuhan energi.
Dalam kerangka seperti inilah Kelompok Solidaritas Kurban Pembangunan Kedung Ombo (KSKPKO), saya harapkan, bisa menjadi lebih mengakar dengan langsung mempersoalkan masalah energi di Indonesia. KSKPKO adalah jaringan mahasiswa yang protes soal penggusuran di Kedung Ombo. Kenapa harus membangun pusat pembangkit listrik yang tersentralisasi?
Saya bandingkan KSKPKO dengan OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief).
Keduanya sama-sama nongovernmental organization. OXFAM dibentuk di Inggris ketika negeri itu sedang dilanda kelaparan. Para aktivis OXFAM berpikir persoalan kelaparan itu sudah reda --bukan berarti hilang sama sekali-- namun kelaparan di Inggris terjadi karena tidak adanya kerja sama ekonomi yang baik di dunia ini. Persoalan kelaparan sangat terkait dengan persoalan lain, bukan hanya di Inggris, tetapi juga di luar Inggris. Mumpung sudah ada organisasi dan ada dana, perhatiannya kemudian dicurahkan pada negara-negara Dunia Ketiga, yang juga mengalami kepapaan. Jadi tujuan organisasi tersebut diperluas.
Demikian halnya dengan KSKPKO. Persoalan Kedung Ombo bisa saja dianggap reda. Tetapi jaringan ini masih ada. Kenapa tidak memanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang lebih berjangka panjang? Mengatasi persoalan-persoalan energi misalnya? Ini perlu dan penting karena manusia tidak bisa hidup tanpa energi.
Makan, minum, listrik, transportasi, teknologi dan sebagainya membutuhkan energi. Dan makin tahun persoalan energi di Indonesia akan menjadi makin ruwet. Ini sudah terbukti di Jerman. Dan ia akan tambah ruwet lagi mengingat terbatasnya cadangan minyak bumi di sudut bumi manapun juga.
George Junus Aditjondro dari Cornell University, Ithaca, New York, yang sedang mempelajari persoalan Kedung Ombo, menyebut pendekatan yang banyak dipakai sekarang adalah "palang merah" --pengobatan, darurat. Dia usul juga ditambah dengan pendekatan "palang pintu" agar persoalan dasar dihadapi lebih awal, dicegah jadi persoalan, daripada sudah jadi masalah berdarah-darah.
Proses Sederhana
Sampai pada titik ini, Candra Kirana bilang, "Kamu berangkat saja ke Jerman.”
Saya dimasukkan dalam rombongan pergi ke Jerman. Sangat sederhana dan tanpa seleksi macam-macam. Ini sekadar menunjukkan, bahwa persoalan pergi keluar negeri, seperti yang banyak dipikirkan oleh banyak orang, ternyata tidak harus melalui “seleksi resmi” dan sejenisnya. Banyak kesempatan ke luar negeri yang didapatkan hanya karena sekadar adanya hubungan.
Kebetulan saya menaruh minat pada persoalan energi (antaranya transportasi), termasuk memikirkan tentang teknologi alternatif, dan di Jerman persoalan itu juga sedang ngetrend, dan kebetulan pula kenal dengan rekan di Surakarta tersebut, sehingga berangkatlah saya ke Jerman.
Entah karena berfikir macam-macam, di Bangkok saya tersesat di ruang tunggu pesawat Lufthansa yang lain. Untung ada waktu untuk mengejar pesawat saya. Terburu-buru saya pergi ke tempat yang benar. Itu pun masih harus berurusan dengan petugas imigrasi gara-gara di ransel saya ada sebuah pisau silet (cutter). Petugas bersangkutan menahannya.
Saya sempat menyambar beberapa koran yang disediakan di lapangan udara Bangkok. Ternyata sambaran itu ada hubungannya dengan kepergian saya. Di halaman pertama The Nation tertera judul “Government plans central body with powers to tackle traffic woes.” Kemacetan lalu lintas di Bangkok, sudah sedemikian parahnya sehingga perlu dicarikan terobosan baru.
Ini adalah salah satu pencerminan betapa repotnya mengatasi persoalan energi. Kemacetan lalu lintas di Bangkok, sama juga dengan yang terjadi di Jakarta, dikarenakan laju pertambahan kendaraan bermotor lebih besar dari pada pertumbuhan jumlah jalan. Mayoritas jalan di Bangkok dikuasai oleh minoritas penduduk Bangkok: pengendara mobil pribadi.
Koran satunya, Bangkok Post, memuat gambaran para pengendara sepeda motor di Bangkok yang terpaksa harus memakai masker (filter) polusi udara dalam perjalanannya karena udara Bangkok terpolusi berat oleh asap knalpot kendaraan bermotor. Saya pikir persoalan-persoalan yang dikedepankan oleh kedua koran berbahasa Inggris itu sama dengan persoalan transportasi yang terjadi di Indonesia.
Mudah-mudahan di Jerman saya tidak perlu menemui persoalan seperti ini.
Harapannya, saya bisa belajar bagaimana negara itu mengatasi persoalan-persoalan transportasinya. Di Indonesia saya tahu dengan pasti, bahwa keberadaan sistem transportasi tak bermotor terancam kelestariannya --sepeda, trotoar, becak, dokar, perahu-- yang pada giliran berikutnya akan merusak prasarana transportasi yang baik secara keseluruhan, memanjakan motorisasi, merusak lingkungan hidup, dan membahayakan kesehatan mahluk hidup termasuk manusia.
Saya sering menulis soal bahaya selalu mengatasi keperluan transportasi dengan bangun jalan tol atau bikin angkutan kota dengan mobil kecil serta meminggirkan trotoar buat orang berjalan kaki atau melarang dokar dan becak macam di Salatiga.
Bandar Frankfurt
Lantas saya tenggelam dalam perjalanan Bangkok-Frankfurt yang sangat panjang. Saking panjangnya, para penumpang memiliki kesempatan dua kali makan besar (dinner dan supper) dan satu kali makan pagi. Badan capek sekali, sesampai di Frankfurt, bandar udara yang besar sekali, kami masih harus menunggu pesawat, yang akan membawa kami ke Dusseldorf, sekitar tiga jam. Lagi-lagi saya menyambar koran-koran yang disediakan di sana gratis di ruang tunggu.
Hari masih pagi benar tetapi berita utama koran-koran berbahasa Inggris di Jerman ternyata bukan persoalan lokal. The Wall Street Journal Europe memberitakan headline buat perang saudara di Croatia dan keengganan Presiden Irak Saddam Hussein membuka negaranya bagi tim Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lebih seram lagi, editorial koran tersebut menyamakan Saddam Hussein dengan Freddy Krueger, tokoh pembunuh dalam serial film horror Nightmare on Elm Street. Seperti halnya Krueger senantiasa muncul kembali untuk melakukan terror terhadap warga kota, Saddam juga dianggap sewaktu-waktu akan bangkit untuk meneror dunia. Keterlaluan juga koran ini.
Mungkin saja di suatu tempat di Irak ada kemungkinan Saddam Hussein menyembunyikan senjata nuklir, tapi saya juga merasa tak nyaman dengan sikap pemerintah Amerika Serikat yang terlalu agresif. Dan mengapa The Wall Street Journal Europe masih harus menambah-nambahi persoalan ini?
Tetapi saya sadar orang Indonesia tidak terbiasa membaca perbandingan sekasar ini. Koran-koran Indonesia jauh lebih berhati-hati dalam memaki-maki politikus. Di dunia Barat memang ada banyak “keterbukaan.”
Mungkin ini kejutan pertama yang saya alami karena bersentuhan dengan dunia Barat.
Hari-hari berikutnya pasti ada kejutan-kejutan yang lain dari masyarakat, yang tidak pernah saya lihat secara langsung ini.
Bertahun-tahun hidup di Pulau Jawa dengan segala nilai-nilainya, yang buruk maupun yang baik, sekarang saya akan mulai berhadapan dengan nilai-nilai yang berbeda.
Seorang ibu Jerman di bangku sebelah dalam penerbangan Frankfurt-Dusseldorf, ketika mengetahui saya baru pertama kali terbang ke Jerman, langsung berseru, “Aach, willkommen in Deutschland.”
Catatan Perjalanan dari Jerman
Suara Merdeka, 22 November 1991
Suara Merdeka, 22 November 1991
Bernas, 1 Desember 1991
Bernas, 2 Desember 1991
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.