Andreas Harsono
Suara Merdeka, 29 November 1991
Di Jerman kalau ada yang hendak membuka pembicaraan dengan orang asing, pertanyaan pertama yang biasanya mereka ajukan adalah, “Bagaimana kesan Anda dengan Jerman?” Dan itu pula yang harus saya hadapi selama di Jerman. Kalau yang menanyakan itu orang kebanyakan, sekedar tegur sapa, saya jawab ala kadarnya saja. “Pemandangannya Indah, negaranya kaya dan sebagainya.”
Tetapi kadang-kadang ada juga orang yang kritis dan benar-benar ingin tahu tentang negaranya dari sudut pandang orang asing. Dan itulah yang terkadang saya alami.
Secara jujur suatu saat saya katakan, bahwa salah satu yang baru buat saya, selama di Jerman, adalah banyaknya majalah-majalah porno yang dijual secara bebas. Waktu pertama kali turun di bandar udara Frankfurt saya sudah dibuat kaget melihat banyaknya majalah porno dijual di bandara udara. Dari Playboy, Penthouse, Hustler, Herr Magazine, St Pauli, Erotik Girls, Sexy Girls, Beate Uhse dan lainnya. Selain itu juga ada yang semi porno (hanya memperlihatkan payudara). Misalnya Quest, Neue Revue dan sebagainya. Untuk yang belakangan ini masyarakat Jerman tentu saja tidak menganggapnya sebagai majalah porno, “Majalah gosip,” ujar mereka. Dan ini banyak bukan main.
Dan yang lebih baru lagi, ternyata majalah–majalah itu punya beberapa edisi, Playboy misalnya, selain edisi bahasa Jerman juga dijual edisi bahasa Inggris. Belakangan saya ketahui juga ada yang edisi bahasa Belanda dan Prancis. Mungkin masih ada edisi–edisi lain. Serikat pers Barat memang menembus batas-batas negara.
Majalah-majalah seperti ini dijual di kios-kios kecil hampir di setiap ujung jalan di seluruh Jerman. Di stasiun kota Mainz iseng -iseng saya pernah menghitung berapa majalah-majalah seperti itu diterbitkan. Hasilnya cukup mengejutkan. Ada sekitar 70 jenis majalah porno. Dan itu semua dijual bebas dan dipajang dengan santai di seluruh Jerman seperti halnya orang menjual majalah atau koran di Indonesia.
Eksplotasi Perempuan
Eksploitasi seksualitas kaum Hawa ini bukan saja lewat lembaran-lembaran kertas. Acara televisi juga diselingi dengan film semi porno maupun porno lunak. Memang tidak setiap malam ada film seperti itu. Tetapi untuk mengatakan sebagai “jarang” juga tidak tepat.
Bahkan juga bikin saya geleng-geleng kepala, di Jerman ada sebuah stasiun televisi swasta --dari sekitar 30-an acara televisi yang bias ditangkap-- yang menyelenggarakan acara kuis bernama, “Tutti Frutti.” Dalam acara tebak-menebak itu pesertanya ada dua orang. Satu perempuan dan satu laki-laki. Mereka berlomba untuk hadiah-hadiah yang besar nilai materinya. Tetapi yang dipertaruhkan adalah pakaian mereka. Tiap kali markah (score) salah satu peserta berkurang, bisa ditebus dengan membuka pakaiannya satu per satu. Dan yang paling sering terjadi, pada akhir acara kedua peserta hanya memakai celana dalam.
Acara ini banyak penggemarnya. Mungkin karena disajikan secara memikat dan halus. Pesertanya pernah seorang ibu rumah tangga dengan empat orang anak, yang body-nya konon sudah tidak bisa dibilang indah lagi. Tetapi itulah yang bikin acara ini jadi ramai. Apalagi diselingi dengan peragawati – peragawati yang juga bersedia melucuti pakaian dalamnya (sebatas dada) sesuai dengan nomor tebakan atau putaran dadu.
Pernah pula dalam suatu kesempatan, saya diajak untuk melihat-lihat daerah” lampu merah” di suatu kota besar (saya jadi ingat dengan mahasiswa-mahasiswa Jepang yang ikut pertukaran mahasiswa di Salatiga juga diajak mengunjungi lokalisasi pelacur). Di seluruh jalan-jalan kecil yang bersih itu banyak sekali etalase-etalase dengan lampu redup berwarna merah atau ungu. Dan di dalamnya ada perempuan-perempuan yang hanya memakai pakaian dalam sambil berusaha memikat “calon konsumen.”
Para pelacurnya banyak yang wanita kulit putih tetapi juga tidak sedikit dari kalangan perempuan kulit berwarna. Gadis kulit hitam, berkulit kuning maupun kecoklatan, semua bergaya sendiri-sendiri. Di Eropa Barat, yang biasa di kenal sebagai korban perdagangan perempuan, adalah gadis-gadis Thailand. Perasaan saya jadi campur–aduk. Di satu sisi, saya munafik kalau mengatakan tidak tertarik untuk melihatnya, tetapi di sisi lain saya juga merasa iba.
“Kok, seperti jualan daging mentah saja,” itulah komentar seorang rekan perempuan. Saya sendiri terkadang merasakan pemandangan seperti ini mirip pemandangan di kebun binatang. Ada wanita-wanita yang dipamerkan di balik “kurungan kaca.”
Dan di daerah yang sama pula ada banyak toko yang menjual berbagai “peralatan aneh,” gedung pertunjukan live show dan sebagainya. Saya lihat tidak sedikit pemuda yang berebut untuk nonton pertunjukan semacam ini. Di pusat-pusat kota (bukan di daerah lampu merah), juga selalu ada apa yang dinamakan sebagai sex shop. Ini memang toko yang jualannya berhubungan dengan seksualitas. Konon di setiap kota di Jerman ada toko dan daerah semacam itu.
Kota Hamburg adalah salah satu kota dengan daerah “lampu merah” terbesar di seluruh Jerman. Mungkin dikarenakan kota Hamburg adalah kota pelabuhan. Pengalaman-pengalaman semua ini merupakan sesuatu yang baru buat saya. Singkat kata, saya jadi bertanya–tanya bagaimana norma – norma seksualitas yang berlaku di Jerman ini sedemikian rupa sehingga semua ini bisa terjadi?
Kebudayaan Global
Beberapa rekan dari Jerman mengakui, bahwa pornografi seakan – akan sudah menjadi sesuatu yang berlaku sehari–hari di Jerman. Tetapi mereka juga tidak setuju kalau dikatakan di Indonesia keadaannya jauh lebih reda. Kalau saya mau jujur, dalam bentuk yang lain sebenarnya ini juga terjadi di Indonesia.
Seorang rekan Jerman bercerita bagaimana dia mengetahui banyak kaum laki-laki di Indonesia yang menyimpan majalah-majalah dan kaset video porno di rumahnya untuk di lihat secara diam-diam. Dan tidak jarang pula ketika naik bis umum di terminal-terminal Indonesia rekan tersebut ditawari dengan novel-novel porno atau gambar-gambar porno. “Jadi sama saja,” katanya.
Sementara yang namanya pelacuran, biar secara resmi dilarang di Indonesia, bahkan konsumen diancam dengan hukuman pidana, di setiap kota, toh selalu ada kompleks pelacur. Jadi pada dasarnya sama saja. Pelacuran adalah profesi tertua di dunia sehingga pelacuran juga di mana-mana.
Saya tetap berpendapat, ini adalah sesuatu yang sudah berlebihan dari kacamata Indonesia. Di negara semacam Jerman, perempuan yang tidak keberatan memperlihatkan buah dadanya, jelas jauh lebih banyak dibandingkan dengan di Indonesia.
Kebudayaan “buka-bukaan” ini bukannya tidak ada di Indonesia. Tetapi saya belum pernah melihat, misalnya seorang mahasiswi yang kepanasan lalu berjemur matahari sambil bertelanjang dada, sedangkan di Jerman, musim panas biasanya diiringi dengan laki-laki maupun perempuan yang bertelanjang dada.
Dan dari cerita seorang mahasiswa indonesia di Jerman. Saya juga mengetahui, bahwa tingkah-laku remaja Jerman dalam berpacaran terkadang juga “mengerikan” orang Indonesia. Mereka tidak segan-segan untuk berciuman dengan mesra di tempat umum. Kadang–kadang bahkan gremet – gremet segala. Dan yang melakukan bukan pemuda umur 20an tahun. Tetapi terkadang pasangan-pasangan usia SMP. Buat ukuran Indonesia, tentu sangat luar biasa. Biarpun di kota–kota besar saya sering membaca laporan tentang remaja putri yang hamil, tetapi saya tidak yakin kalau remaja Indonesia bisa seberani itu.
Tetapi ini semua tidak kemudian menjadi orang–orang Jerman pada jadi orang aneh. Karena seiring dengan meningkatnya usia, mereka juga menjadi jenuh dengan eksploitasi seks dengan cara demikian. Akhirnya mereka juga bicara soal cinta. Akhirnya mereka juga bicara soal mempunyai anak. Dan biarpun makin hari makin banyak pasangan Jerman yang hidup bersama di luar nikah, tetapi lahirnya anak, biasanya dilanjutkan dengan pernikahan.
Tetap saya yakin dibalik semua ini ada nilai–nilai lain yang tidak sekedar hitam atau putih. Masalah seks di Indonesia seringkali dianggap sebagai hitam dan putih saja karena ditabukan. Karena ditabukan, banyak pemuda yang kemudian menjadi agresif hanya karena ada seorang gadis belia murah senyum, memakai rok mini lewat di hadapannya. Padahal dalam benak si gadis tidak ada apa–apa selain ingin kelihatan cantik untuk sesama perempuan.
Dan dalam kerangka pemikiran yang campur aduk inilah, kebetulan saya membaca majalah Prisma yang pertama kalinya melapor-utamakan persoalan seksualitas. Meminjam pendapat Julia Suryakusuma, redaktur tamu majalah itu untuk edisi Seks dalam Jaring Kekuasaan. Di Indonesia, seksualitas sebagai bidang studi ilmu sosial boleh dikatakan belum lahir. Anehnya, pada saat krisis sosial, perilaku seksual sering kali menjadi lebih “ekspresif” dan mempunyai nilai simbolik yang besar sehingga seksualitas dapat menjadi semacam “barometer” masyarakat.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.