Andreas Harsono
Harian Kartika, Sabtu, 4 Mei 1991
Empat bulan yang lalu, secara tidak sengaja, saya mendapat guntingan-guntingan koran tahun 1978, yang isinya berkisar pada persoalan-persoalan siapa pencipta lagu “Bagimu Negeri”. Almarhum Kusbini (1910-1991), yang selama ini dikenal sebagai pencipta lagu “Bagimu Negeri”, mendapat sorotan tajam karena adanya orang-orang yang berani bereaksi, bahwa penciptanya adalah J. Semedi (lahir 1924).
Polemik itu besar gaungnya. Dalam rekaman saya, tak kurang dari 22 orang, yang klaim dirinya sebagai saksi sejarah, yang terlibat dalam polemik tersebut. Lebih menarik lagi, karena kebanyakan pendukung J. Semedi, justru “orang-orang kebanyakan” yang pernah berhubungan dengan J. Semedi. sementara saksi pendukung Kusbini nisbi sedikit. Saya tertarik dengan polemik itu dan mencoba menelusurinya lebih jauh.
Versi Joseph Semedi
Joseph Moeljo Semedi, pada tahun 1940-an adalah guru di Sekolah Rakyat III (SR III) Pati. Semenjak mengikuti pendidikan di HIK Muntilan --sekolah guru yang terkenal telah melahirkan komponis besar semacam Cornel Simanjuntak, Binsar Sitompul maupun RAJ Soedjasmin – Semedi memperoleh pelajaran musik dari pastur pengajarnya. Tentang lagu “Padamu Negeri” (judulnya berbeda dengan judul ala Kusbini), Semedi menciptakan semasa libur di rumah kakaknya di Solo. Ilhamnya diperoleh setelah mengikuti upacara Natal 1944 di Gereja Purbayan. Sedang liriknya disempurnakan di rumah orang tuanya di Kopen, Boyolali.
Semedi memperkenalkan lagu itu setelah liburan sekolah selesai pertama kali di rumah S Benyamin di Randukung, Pati. Lagu itu dibawakannya dengan biola bersama dengan C. Setyoprayitno (Kepala Kantor P&K Kabupaten Rembang saat polemik berlangsung) serta dua orang murid SR III, yaitu Suryaningsih dan Suryoutomo.
Sekitar bulan Mei 1945, dalam rangka perlombaan menyanyi yang diadakan oleh pemerintah pendudukan Jepang, Semedi memperkenalkan nyanyian itu kepada Nagasima (waktu itu Kepala Jawatan Pengajaran SR di Pati). Nagasima kemudian mengiringi Semedi membawakan nyanyian itu di hadapan atasannya. Reaksi kedua pejabat Jepang itu baik. Artinya, sebagai penguasa saat itu, lagu itu katakanlah “lolos sensor”.
Sejak saat itulah lagu “Padamu Negeri" populer di kalangan guru dan murid-murid sekolah di Pati. Dalam kesaksian Semedi, yang dibenarkan oleh kolega maupun murid-murid Semedi dalam berbagai surat pembaca, teks lagu itu beredar dari tangan ke tangan, guru ke guru, bahkan sampai ke Solo, Blora dan Blitar.
Pada tahun 1947, lagu “Padamu Negeri” sudah dinyanyikan oleh murid-murid SPG Blitar karena diperkenalkan oleh salah satu guru menyanyi di sana. Semedi sendiri, sebagaimana layaknya guru tingkat pendidikan dasar, adalah guru yang selain mengajar pelajaran secara umum juga gemar menyanyi.
Dari berapa kesaksian murid-muridnya maupun rekan-rekannya, Semedi digambarkan sebagai pribadi yang sederhana, jujur, taat beribadah dan tidak neko-neko. Keterkejutannya ketika pada tahun 1950 membaca majalah Berita Radio, bahwa lagu yang diciptakannya diklaim oleh penggubah lain. Ini membuat Semedia membuat mencoba mencari keterangan lebih lanjut. Usaha ini berakhir dengan senyap dengan berbagai halangannya. Sampai pada tahun 1978, tigapuluhlima tahun setelah diciptakan, persoalan lagu itu meletus lagi gara-gara ada wartawan yang menulisnya.
Versi Kusbini
Saksi yang paling diandalkan Kusbini adalah Presiden Sukarno di Jakarta. Pada tahun 1942, baris terakhir lagu “Bagimu Negeri” berupa kalimat “Bagimu negeri Indonesia Raya”.
Sukarno, yang mendengarkan lagu itu di depan rapat Pusat Tenaga Rakyat, organisasi bentukan Jepang, usul ganti kalimat lain dengan pertimbangan security. Selanjutnya lagu itu dikumandangkan pertama kali lewat radio penguaa Jepang. Hal ini dimungkinkan karena Kusbini saat itu bekerja di radio Jepang bersama Ny. Bintang Soedibjo (Ibu Sud) yang menjadi Kepala Bagian Siaran Lagu untuk Anak-anak radio Jepang (sekarang RRI Pusat).
Secara musikal kedua lagu itu sama. Bahkan susunan kata demi kata, hampir semuanya sama. Ini memang aneh ketika keduanya tidak pernah bertatap muka.
Rasanya mustahil dua orang yang berbeda mendapat ilham yang persis sama. Ketika Kusbini disebut sebagai “buaya keroncong” sehingga sulit dimengerti apabila mampu menciptakan lagu bermodel hymne, dengan tegas dia menjawab, “Saya buaya dalam segala musik”.
Biarpun lagu-lagu keroncong ciptaannya banyak dan populer sekali, Kusbini memang menciptakan lagu lain di luar keroncong.
Sementara Ibu Sud, mengatakan pernah melihat coretan lagu “Bagimu Negeri” ketika masih bekerja dengan Kusbini. Tetapi tidak bisa memastikan saat Kusbini menciptakan lagunya. Hanya Ibu Sud percaya bahwa lagu itu diciptakan Kusbini karena setiap kali mendapat lagu baru, biasanya Kusbini memperlihatkannya kepada Ibu Sud.
Itu pula yang terjadi ketika lagu “Bagimu Negeri” hendak disiarkan lewat radio. Dalam polemik itu, Kusbini juga mendapatkan pembelaan dari Karkono, seorang sastrawan, yang mengatakan pernah diajak berdiskusi mengenai lagu “Bagimu Negeri” pada tahun 1943.
Jadi apabila memperhatikan tahunnya, jelas Kusbini menciptakan lagu tersebut lebih dahulu dari pada J.Semedi. Ada dua orang saksi (Ibu Sud dan Karkono) yang mengatakan hal itu.
Sementara versi J Semedi, bahwa lagu “Padamu Negeri” dikarang akhir tahun 1944, juga mendapatkan saksi-saksi, terutama jika diikuti dari banyaknya penulis surat pembaca, yang memperkenalkan diri sebagai bekas murid atau kolega Semedi.
Mungkin perbandingan itu pula yang membuat Kusbini tidak pernah berniat menuntut Semedi ke depan meja pengadilan --setidaknya dengan tuduhan mencemarkan nama baik apabila masalah hak cipta pada saat itu belum jelas hukumnya. Sementara Semedi sendiri memang tidak menunjukkan keinginan menghangatkan suasana ini.
Analisa Sementara
Khusus saksi bagi J. Semedi, kedua pejabat pendidikan masa Jepang saja yang tidak diwawancarai pers. Padahal peranan kedua pejabat Jepang itu sangat penting. Sisanya, baik atasan Semedi, rekan-rekan guru yang ikut membantu mengajarkan lagu “Padamu Negeri” di kelas, maupun sebagian murid-murid Semedi, yang mengalami sendiri jaman tersebut, bisa dihubungi wartawan.
Mereka menulis surat pembaca kepada Suara Merdeka, koran Semarang, yang getol meliput polemik tersebut: Ny. Soebaidah Rawoen (guru), Ny. Soemijati (guru), Ny. Kusnowo (murid), Sadirun Suryodiredjo (murid). Mereka adalah saksi yang pro Semedi.
Fenomena murid-guru ini bisa mengerti apabila mengingat belum begitu komersialnya bisnis rekaman pada tahun 40-an dan 50-an. Dalam jaman seperti itu, sebuah lagu biasanya dipopulerkan lewat radio atau dari mulut ke mulut. Untuk cara yang belakangan, lagu-lagu yang disebarluaskan biasanya berirama sederhana dan liriknya pendek (agar mudah diingat).
Dalam berbagai literatur yang saya baca, untuk cara yang kedua ini, pemenang peran penting adalah jaringan guru-guru. Waktu itu, status sosial seorang guru, tinggi sekali di hadapan masyarakat. Dalam perkara pembentukan moral murid-muridnya, peranan guru sangat menentukan. Salah satu sarana pengembangan kepribadian murid yang ideal adalah lewat musik. Disinilah peranan Semedi bisa dimengerti apabila menciptakan lagu yang liriknya diwarnai oleh nasionalisme.
Apabila mengamati Kusbini dan Semedi dalam menghadapi polemik tersebut, saya punya kesan Kusbini sangat emosional.
Semedi sendiri, dalam berbagai keterangannya, tidak memperlihatkan diri sebagai pemberang. Ketika ditanya wartawan, bahwa yang mempermasalahkan bukan dia tetapi justru "orang lain" (wartawan).
Pada tahun 1950, dia tidak tahu, kalau masalah kecil itu berbuntut sepanjang ini. Artinya, pada tahun 1950 Semedi juga tidak menyangka apabila lagu ciptaannya menjadi lagu demikian penting bagi sejarah Indonesia. Waktu itu, Semedi hanya bisa melakukan protes dengan bercerita kepada murid dan rekan-rekannya, dan itu dilakukannya dari tahun ke tahun. Inilah protes gaya seorang guru.
Soal tahun, Ibu Sud maupun Karkono, menurut pengamatan saya, tak memberikan bukti mengenai tahun ketika Kusbini memperlihatkan coretan lagu ciptaannya. Mungkin perlu diingat, bahwa kehadiran Jepang di Indonesia tidak lenyap begitu saja setelah Proklamasi pada Agustus 1945.
Dalam jangka waktu yang agak panjang, Jepang masih memegang beberapa pusat militer, antara lain radio, yang dianggap penting sebelum diserahkan kepada pihak Sekutu. Ini lain dengan guru-guru, yang terbiasa bekerja rapi dan mencatat kegiatan mereka.
Pada sisi lain, seorang seniman yang baru menciptakan karyanya, biasanya saat itu juga meminta pendapat orang lain. Antusiasme seorang seniman tidak bisa terulang dua kali dalam waktu yang berbeda (1942 dan 1943).
Selain sebagai “seniman borongan”, dan ini biasanya terjadi dimana-mana, terbuka kemungkinan Kusbini mengambil lagu-lagu rakyat yang didengarnya, untuk diubah sana-sini dan disiarkan lewat radio.
Waktu pertama kali mengambil lagu Semedi, boleh jadi Kusbini tidak berniat membajaknya. Mungkin saat itu rasanya lagu itu baik untuk disiarkan. Artinya juga sudah lolos sensor Jepang karena lagu itu sudah dinyanyikan dimana-mana. Perkaranya jadi lain ketika lagu itu naik daun, dan diklaim sebagai ciptaan Kusbini --mungkin lewat orang lain seperti Ibu Sud dan Karkono yang tidak ditolak oleh Kusbini. Dan ketika belakangan jadi perkara, Kusbini mau tidak mau harus mempertahankan namanya.
Mengenai isu Sukarno dan rekan-rekannya sebagai saksi, cerita ini mirip dengan cerita bagaimana lagu “Indonesia Raya” mula-mula diperdengarkan W.R. Supratman di depan Kongres Pemuda II tahun 1928. Kusbini memang pernah dekat dengan Supratman. Dan heroisme Kongres Pemuda II memang bisa menimbulkan keinginan orang lain untuk menirunya.
Dan perlu diingat, mengkait-kaitkan sesuatu dengan orang besar, biasanya hanya dilakukan seseorang yang merasa kurang yakin dengan kemampuannya. Sementara dari saksi-saksi Semedi, terungkap bahwa Semedi adalah komponis yang baik dalam menciptakan lagu rakyat --pendek dan sederhana. Jadi, menurut pengamatan sementara saya, tampaknya Kusbini memang bukan pencipta lagu wajib tersebut.
Akhir kata, dalam suasana duka seperti sekarang, dan juga dalam pemahaman tentang hari tua Kusbini, yang secara keuangan kurang menguntungkan, bukanlah maksud saya untuk melupakan jasa-jasa Kusbini sebagai seniman besar. Rinto Harahap juga pernah diadili gara-gara mengklaim karya seni orang lain. Saya sebagai pemuda yang merasa tertarik dengan masalah ini mengingat Milli Vanilli saja bisa memperdaya warga dunia. Dan keterlibatan saya, hanya sebatas sebagai pihak ketiga, yang masih duduk di bangku sekolah dasar di pojok Jawa Timur ketika polemik ini berlangsung.
Andreas Harsono adalah peminat masalah musik, tinggal di Salatiga.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.