Andreas Harsono
Bernas, 21 Mei 1991
Kata genocide mempunyai makna yang dalam sekali tentang pemusnahan secara sistematis, terhadap suatu golongan bangsa. Pemusnahan secara sistematis artinya pemusnahan secara perlahan serta melewati berbagai tahap penyempitan ruang gerak bangsa yang dimusnahkan. Dengan cara inilah manusia-manusia yang haus kekuasaan mampu menghancurkan bangsa yang sumber daya alam maupun sumber daya manusianya hendak dikuasai. Ini digambarkan oleh Kevin Costner dalam film Dances with Wolves.
Dengan Dances with Wolves, Costner mengisahkan bagaimana keserakahan orang-orang kulit putih mendorong mereka untuk melakukan genocide terhadap suku Indian. Dalam film itu, suku yang dimaksudkan adalah suku Indian Sioux.
Lewat penuturan John Dunbar, seorang prajurit Amerika Serikat jaman Wild West, genocide itu diceritakan secara memikat. Mula-mula Dunbar yang idealis, secara tak disangkanya, ditugaskan untuk menduduki posnya di Fort Sedgewick.
“Benteng” itu ternyata hanya berupa sebuah rumah kayu sangat sederhana di tengah padang rumput indah. Letnan kavaleri dan bentengnya ini juga tidak memiliki pasukan. Karena sesampainya di gubuk kecil itu, Dunbar harus menemui kenyataan, bahwa prajurit-prajurit yang bakal jadi anak buahnya sudah tidak ada atau … tinggal kerangkanya saja. Dunbar hidup sendirian.
Pemahaman Dunbar tentang suku Indian tidak jauh berbeda dengan pengertian yang dikembangkan oleh pemerintahannya. “Orang Indian yang baik adalah orang Indian yang mati,” ujar seorang sais kereta kuda. “Mereka tidak lebih dari pada pengemis dan pencuri.” Sampai suatu hari, dalam kesendiriannya, Dunbar dikejutkan oleh kehadiran prajurit-prajurit Sioux.
Pertumpahan darah hampir terjadi kalau saja Dunbar tidak bersikap terbuka dengan terlebih dahulu mengunjungi perkampungan Sioux yang ada dekat benteng. Adegan cukup menarik. Dunbar dengan seragam lengkap membawa bendera Amerika Serikat berjalan menuju kampung Sioux. Legitimasi negara ditunjukkan dengan sebuah bendera. Dibumbui kisah asmara. Perburuan bison, pertempuran dengan suku Pawnee, singkat kata, terjadilah persahabatan antara Dunbar dan suku Sioux.
Satu kali Dunbar dijumpai oleh teman-teman Indiannya sedang bermain dengan seekor serigala dan seekor kuda. Kedua binatang itu adalah sahabatnya dalam kesepian. Dan orang-orang Sioux memberi nama Dunbar dengan sebutan Dances with Wolves (Menari dengan Serigala), ketika malam-malam mereka menjumpai Dunbar sedang menari dengan serigala yang tak jauh dari unggunnya. Orang-orang Indian merasa senang bergaul dengannya. Apalagi setelah Dunbar menikah dengan salah satu anggota suku Sioux. Tapi pertanyaan yang belum berani dijawab oleh Dunbar adalah “Apakah orang kulit putih akan datang kemari? Berapakah jumlahnya?"
***
Pertanyaan itu hari ini sudah terjawab. Orang kulit putih telah mendiami seluruh sudut benua Amerika Utara yang dulunya merupakan tanah Indian. Orang kulit putih merebutnya dengan senapan, kekejaman, kelicikan, dan kekuasaan untuk menguasai sumber daya alam di benua impian itu --emas, minyak, besi, rumput, kayu dan sebagainya. Genocide terhadap suku Indian hari ini terbukti telah terjadi.
Pertanyaan yang dulu diajukan terhadap Dunbar, memang dijawab dengan peristiwa ditangkapnya Dunbar, oleh pasukan AS yang diperintahkan untuk menempati benteng Sedgewick. Tujuan kedatangan pasukan dalam jumlah besar itu, dalam alasan resmi versi pemerintah AS, adalah “menghukum Indian jahat”. Biarpun Dunbar beralasan di sekitar benteng Sedgewick tidak ada Indian jahat, tetapi Dunbar yang berpakaian Indian itu, justru dituduh pengkhianat, deserter dan pelaku tindak subversi (dalam bahasa ala Orde Baru).
Dunbar justru disiksa. Dari kejauhan rekan-rekannya dari suku Sioux melihat dan bersumpah menuntut balas. Dalam suatu perjalanan melaksanakan “penghukuman” terhadap Indian jahat, pasukan AS diserang oleh prajurit-prajurit Sioux. Dibantai habis. Digorok, dikampak dan dalam adegan di film memang di perlihatkan bagaimana sikap prajurit Sioux terhadap musuh-musuh mereka (kebrutalan yang sama juga diperlihatkan Costner lewat tingkah pola prajurit-prajurit AS yang bermoral rendah, tidak mampu baca tulis dan bengis).
Kevin Costner cukup lihai mempermainkan perasaan penonton, dengan membuat adegan mengejar prajurit AS yang hendak mencari Dunbar serta suku Sioux, lewat musim salju dan daerah perbukitan. Jejak demi jejak dipasang terus. Dan berkebalikan dengan kisah legendaris tentang Buffalo Bill, yang digambarkan senantiasa didampingi oleh orang Indian pencari jejak yang mahir dan memerangi Indian jahat, dalam film Dances With Wolves, justru para pencari jejak digambarkan sebagai penjilat-penjilat yang bersedia bekerja sama dengan orang kulit putih demi sedikit kemewahan (perhiasan, uang, perempuan, minuman keras).
Klimaksnya tentu saja, dengan kehalusan yang luar biasa, Costner menutupnya dengan narasi yang mengatakan genoside terhadap Indian Sioux akhirnya tuntas juga.
Dumbar mungkin mati dalam perjuangannya. Demikian halnya dengan rekan-rekan yang lain, secara halus, penonton dipersilahkan menerka sendiri bagaimana kebudayaan Indian dihancurkan, gaya hidup mereka dipaksa menjadi “putih”, penyakit kelamin merajalela, bermabuk-mabukan, berjudi dan lain-lain. Dan di atas pemusnahan daya tahan suku Sioux serta ratusan suku Indian lainnya, kemegahan Amerika putih (WASP = White, Anglo Saxon Protestant) didirikan.
Dances with Wolves menceritakan pada kita, bagaimana pemerintah AS memusnahkan bangsa lain yang dianggap menjadi penghalang mengalirnya sumber daya alam dan sumber daya manusia ke kantong mereka. Dua ratus tahun yang lalu, secara sistematis bangsa Indian dihapus dari peta Amerika. Bagaimana sekarang?
Adanya satu pesan penting dari film Dances with Wolves. Kevin Costner terlambat dua ratus tahun dalam memproduksi film yang mampu menggugah kehormatan bangsa Amerika tetapi banyak ditolak kalangan Hollywood itu.
Kesadaran akan bagaimana pemerintah AS, dengan berbagai legitimasi hukum dan perundang-undangannya memusnahkan bangsa lain, yang dianggap menjadi penghalang kelancaran aliran sumber daya alam dan sumber daya manusia ke kantong mereka, adalah keterlambatan yang menyolok mata, yang menutupi kenyataan, bahwa masyarakat Amerika tidak bisa hidup dengan baik tanpa kehadiran yang seimbang dari bangsa -bangsa lain.
Perang Teluk Persia adalah keterulangan peristiwa yang digambarkan dalam film Dances with Wolves. Pemusnahan suku Indian dua ratus tahun silam diulangi lagi secara terus-menerus oleh pemerintah AS, dan salah satu puncak yang paling dramatis adalah genocide terhadap rakyat Irak. Kevin Costner seharusnya membuat film “Dances with the Gulf War” agar tidak bisa dituduh terlambat dua ratus tahun.
Dalam Perang Teluk terlihat, bahwa tujuan AS tidak lain selain mengamankan berbagai kepentingannya di kawasan Timur Tengah. Dari berbagai urutan kejadian Perang Teluk terlihat bahwa AS sesungguhnya memang tidak mempunyai maksud lain selain menaklukkan Irak.
AS mula-mula telah memiliki pengetahuan terhadap maksud Irak menyerbu Kuwait. Dutabesar AS untuk Irak April Glaspie telah diberitahu oleh Saddam Hussein beberapa minggu sebelum penyerbuan ke Kuwait, jika Kuwait masih melanjutkan peningkatan produksi minyaknya (sehingga menurunkan harga), Irak tidak punya pilihan lain selain menyerang Kuwait. Dutabesar AS menanggapi pemberitahuan ini dengan mengatakan bahwa hal tersebut seluruhnya menjadi masalah Arab, dan AS tidak akan campur tangan.
Beberapa saat sebelum peperangan dimulai, dalam pertemuan di Bagdad dengan Sekretaris Jenderal PBB Perez de Cuellar, Saddam juga mengatakan bahwa Irak bersedia untuk mendiskusikan sebuah “paket perjanjian.”
De Cuellar sendiri melaporkan kepada PBB, bahwa Menteri Luar Negeri Irak, Tariq Aziz, berulang-ulang menekankan keinginan Irak untuk berdialog dengan AS dan Masyarakat Ekonomi Eropa maupun negara-negara Arab. Sementara pada saat yang hampir bersamaan AS melarang pendaratan pesawat Aziz di New York untuk merundingkan proposal Irak kepada PBB. Surat kabar Amman Al Rai (14/2) mengungkapkan bahwa AS telah menasehati Emir Kuwait untuk tidak membuat kompromi apapun dengan orang-orang Irak pada saat perundingan penghindaran perang, jauh sebelum Irak menyerbu Kuwait pada 2 Agustus 1990. Demikian halnya ketika Mikhail Gorbachev dari Uni Soviet melancarkan paket gencatan senjata, dan Irak menanggapinya dengan baik, AS justru melancarkan serangan darat.
Ini sebenarnya penjebakan terhadap Saddam Hussein, seperti halnya dua ratus tahun yang lalu, prajurit-prajurit AS menjebak suku-suku Indian untuk melakukan kesalahan kecil, sedemikian rupa sehingga memberi peluang bagi militer AS untuk memusnahkan musuh-musuhnya. Esensinya sama walau detailnya berbeda.
Sekarang perangkat hukum yang dimain-mainkan dalam Perang Teluk, jelas lebih rumit dan lebih canggih dari perangkat hukum yang dipergunakan dua ratus tahun yang lampau. Memanipulasikan kekuatan AS dalam forum PBB, dua ratus tahun yang lalu belum terjadi. Tetapi pesan utama dari Perang Teluk tidak berbeda jauh dengan pesan yang hendak disampaikan oleh film Dances with Wolves.
Dua ratus tahun lalu, John Dunbar dan hampir seluruh masyarakat kulit putih dicuci-otak dengan ide, “Indian yang baik adalah Indian yang mati.” Sekarang pun, dalam ketidakseimbangan coverage pers Barat terhadap Perang Teluk, yang diperburuk oleh adanya sensor dari pasukan gabungan, masyarakat dunia diajak untuk berpikir, “Saddam adalah maniak, dan Irak yang baik adalah Irak tanpa Saddam Hussein”.
Tragisnya, berbagai pesawat televisi di penjuru dunia, membuat peristiwa perang ini sedemikian “menghiburnya” sehingga tidak kalah dengan Piala Dunia. Atau di mata sebagian orang lebih cocok dianggap sebagai space invaders game di layar monitor komputer. Dua ratus tahun yang lalu kekejaman dan kebengisan perang, mampu direduksi sedemikian rupa, menjadi permainan koboi-koboian anak kecil. Ada Indian menyerang koboi. Tembak-menembak dan Indian jahat mati. Anak kecil pun dibuat berpikir seperti itu. Sekarang anak-anak belajar mengucapkan kata “Patriot”, “Scud” dan sebagainya dalam konotasi perang Irak-Amerika Serikat.
Karena itulah, film Dances with Wolves hanya menambah kekecewaan saya terhadap sikap kita dalam Perang Teluk. Sebagai sesama negara Dunia Ketiga, saya pikir, Indonesia seharusnya berperan lebih besar dalam krisis tersebut. Seperti halnya John Dunbar memaksa suku Sioux melarikan diri dan memisahkan diri dari Dunbar, dalam abad pesawat ruang angkasa ini pun, pemerintah Indonesia seharusnya menasehati Irak untuk segera keluar dari Kuwait (setidaknya hanya menyisakan dua pulau untuk dikuasai) sambil menghalangi intervensi AS dalam melakukan genocide terhadap rakyat dan kebudayaan Irak.
Saya menyesalkan sikap pemerintah Indonesia, ikut mengecam Irak sambil melupakan bagaimana emir-emir Kuwait menikmati uang minyak mereka, demi kepentingan mereka sendiri, tanpa mengingat kepentingan jutaan rakyat Arab, yang miskin dan dieksploitasi negara-negara Dunia Pertama.
***
Andreas Harsono adalah mahasiswa teknik Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.