Andreas Harsono
Harian Kartika, 28 Februari 1991
SEJAK pertengahan dasawarsa 1980-an di kalangan Pemda Salatiga sudah ada pemikiran-pemikiran untuk membatasi ruang gerak kendaraan tradisional, terutama becak dan dokar. Alasannya macam-macam. Antara lain, keterbatasan daya dukung jalan di Salatiga, kendaraan tradisional sering memacetkan lalu lintas, kotoran kuda mengotori jalan, menarik becak tidak manusiawi, tradisionalisme dianggap tidak cocok dengan modernitas, sudah ada angkutan kota dan sebagainya. Pemikiran itu kemudian diwujudkan dalam Perda VI Tahun 1986.
Beralasan Perda VI Tahun 1986 inilah, Pemda Salatiga mengeluarkan berbagai macam keputusan yang secara sistematis akan menghapus kendaraan tradisional (juga pada sepeda dan trotoar). Ini terjadi karena dengan membatasi ruang gerak dokar atau becak, ongkos becak maupun dokar makin mahal (karena jalurnya berputar-putar).
Biarpun pihak DPRD Salatiga berbangga karena makin tahun SK Walikota tentang jumlah becak/dokar makin bertambah, melebihi ketentuan Pemda Salatiga. Apabila keadaan ini makin berkelanjutan, suatu saat masyarakat akan menyadari, tidak muda untuk memilih becak/dokar akhirnya juga dipandang sebagai alat transportasi yang layak untuk dihapus.
Teknologi Manusiawi
Alasan Pemda Salatiga tentang upaya sistematis penghapusan becak/dokar itu bukan tidak ada benarnya. Tetapi, yang ada berapa aspek yang bisa dipertanyakan kembali, misalnya, aspek kemanusiaan. Menurut hasil penelitian Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana, pendapatan bersih rata-rata tukang becak di Salatiga sebesar Rp 1900/hari. Dan 34.15 persen di antaranya mempunyai pekerjaan sampingan dan 2.44 persen memiliki penghasilan sampingan rata-rata Rp 3000- Rp 4000 sehari.
Dari segi pendidikan 9.76 persen tidak pernah sekolah dan 70.73 persen berpendidikan SD. Jadi, seorang tukang becak yang beruntung sehari rata-rata bisa membawa pulang uang RP 5900. Bandingkan penghasilan tukang becak dengan penghasilan misalnya, buruh industri tekstil Damatex, perusahaan paling besar di Salatiga, dengan pendidikan sama.
Menurut SK Menteri Tenaga Kerja No.320/MEN/1988, di Jawa Tengah upah pokok minimum seorang buruh Rp 780/hari. Pada sektor angkutan upah minimumnya Rp 995/hari. Jadi, pekerjaan sebagai tukang becak secara ekonomis lebih tinggi penghasilan dari upah minimal.
Belum ada penelitian tentang dokar, tetapi dari pengalaman saya selama dua tahun bekerja dengan sais dokar, penghasilan kusir dokar lebih tinggi dari pada tukang becak. Ongkos dokar biasanya lebih mahal dari pada becak. Jangan heran apabila ada tukang becak yang mampu menyekolahkan anaknya hingga lulus dari Universitas Kristen Satya Wacana. Di Tengaran juga ada seorang kusir dokar yang menyekolahkan anaknya hingga lulus dari IKIP Semarang.
Mengapa menjadi tukang becak?
Menurut hasil penelitian itu, 37 persen menjawab karena penghasilannya lebih besar. Karena pekerjaannya tidak terikat (5.26 persen) atau pendapatannya mantap (5.26 persen). Padahal sebelum menjadi tukang becak 10.39 persen menjadi buruh tani, 6.49 persen pernah bekerja di pabrik, 12.99 persen pernah jadi tukang, 10.39 persen pernah jadi kuli bangunan. Pilihan menjadi tukang becak tidak selamanya identik dengan nasib jelek.
Iskandar Alisjahbana dari Institut Teknologi Bandung berpendapat teknologi roda bertenaga manusia adalah teknologi yang manusiawi. Dibandingkan dengan sekian banyak dampak buruk kendaraan bermotor, teknologi sederhana bertenaga manusia jauh lebih baik dan jauh lebih manusiawi. Alisyahbana mengecam sikap bermusuhan terhadap becak. Menarik untuk melihat bahwa Indonesia, pada waktu ini merupakan satu-satunya negara di dunia yang mengurangi teknologi sepeda atau teknologi roda bertenaga manusia,” tulisnya (Alisjabana:1990).
Soal kemacetan lalu lintas, ternyata dari penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap jumlah lewatnya penumpang per meter lebar jalan, mobil adalah kendaraan yang paling boros terhadap luas jalan (lihat tabel 1).
Satu meter lebar jalan dalam satu jam dilewati oleh 170 penumpang mobil. Sementara pada keadaan sama dilewati, oleh 1500 pengendara sepeda. Jadi, sulit untuk menunjuk dokar atau becak sebagai penyebab becak sebagai penyebab kemacetan lalu lintas apabila melihat penelitian ini.
Teknologi Transportasi |
Kecepatan (km/jam) |
Jumlah penumpang (meter per lebar jalan) |
Mobil dalam kota |
15 |
170 |
Mobil di jalan tol |
60 |
750 |
Sepeda |
12 |
1500 |
Becak |
10 |
250 |
Bus dalam kota |
12 |
2700 |
Pejalan kaki |
4 |
3600 |
Kereta api dalam kota |
40 |
4000 |
Bus di jalan sendiri |
40 |
5200 |
Tetapi seperti yang terjadi di Jakarta, Pemda Salatiga justru menuding kendaraan tradisional sebagai penyebab kemacetan lalu lintas. Sementara keterbatasan lahan membuat laju pertumbuhan jalan tidak mampu mengatasi pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor (terutama kendaraan pribadi). Di Pulau Jawa, jalan raya bertambah rata-rata 12 persen setahun. Sementara kendaraan bermotor bertambah 17 persen setahun (Moch. Hendrowijono: 1990).
Menurut data badan pusat Statistik yang diolah oleh harian Media Indonesia penyebaran penguasaan kendaraan bermotor di Jakarta adalah sebagai berikut (tabel II).
Kendaraan penumpang satu orang |
45% |
Kendaraan penumpang dua orang |
37% |
Kendaraan penumpang tiga orang |
10% |
Kendaraan penumpang empat orang |
4% |
Kendaraan penumpang lebih dari empat orang |
4% |
Salah satu sebab naiknya keinginan warga Jakarta (juga di Salatiga dan banyak kota lain di Indonesia) untuk membeli mobil adalah buruknya sistem transportasi umum Menurut penelitian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, banyak penduduk perkotaan yang alergi menggunakan kendaraan umum bermotor. Hasil survei BPPT tahun 1989 memperlihatkan 24,4 persen menyatakan kendaraan angkutan umum buruk, 45.6 persen menyatakan biasa, 23.3 persen menyatakan baik dan sisanya tidak mengetahui keadaan angkutan umum.
Rendahnya tingkat pelayanan tersebut, menurut, J. Hasyim (staf kelompok transportasi dari BPPT), sangat berkaitan dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai, waktu tempuh yang cukup lama dan jumlah penumpang yang melebihi kapasitas angkut.
Sejak tahun 1972 sampai 1985 terjadi penurunan pemakaian kendaraan angkutan umum. Pemakaian kereta api dalam kota menurun dari 1.2 persen menjadi 0.3 persen dan bus kota dari 59.6 persen. Sedangkan kendaraan bermotor dengan privacy tinggi justru menunjukkan kenaikan. Taksi dan bajaj naik dari 0.2 persen menjadi 0.3 persen dan bus kota dari 59.6 persen menjadi 50.9 persen. Sedangkan kendaraan bermotor dengan privacy tinggi justru menunjukkan kenaikan. Taksi dan bajaj naik dari 0.2 persen menjadi 5.8 persen dan mobil/motor pribadi naik dari 0.2 persen menjadi 43 persen (Suara Pembaruan, 22/11/1988).
Dampak pertumbuhan lalu lintas kendaraan bermesin juga berupa terjadinya efek rumah kaca secara berlebihan. Gas-gas yang dikeluarkan dari knalpot kendaraan bermotor tidak kecil sumbangannya pada proses pemanasan bumi tersebut. Pada 1970 di seluruh muka bumi hanya ada 245 juta mobil. Limabelas tahun kemudian naik menjadi 520 juta mobil (Seymour & Girardet:1987), tiap tahun sekitar 30 juta mobil diproduksi.
Ini berarti bertambah konsumsi bahan bakar 3 ton tiap tahun akan menambah saratnya polusi di atmosfir, mendesak kehidupan satwa liar, menyebabkan penebangan jutaan pohon dan menambah korban kecelakaan lalu lintas. Asap buangannya mencapai 10,000 milyar meter kubik tiap tahun. Dan entah bagaimana keadaan bumi pada tahun 2000 nanti ketika jumlah mobil diperkirakan mencapai 800 juta? Dan entah bagaimana rupa Salatiga yang sekarang berusaha menjadi Jakarta kecil itu? (Jakarta adalah salah satu kota dengan tingkat polusi tinggi di dunia).
Pemanjaan dari segi pengrusakan lingkungan hidup, penghematan energi, peningkatan daya tarik pariwisata dan penekanan resiko kecelakaan lalu lintas, kendaraan tradisional jelas lebih unggul. Tetapi memang sulit untuk menghindari pemakaian teknologi mesin pada transportasi jarak menengah dan jarak jauh.
Untuk itu teknologi kendaraan bensin harus dimanfaatkan secara kritis. Kesalahan pilihan strategi pembangunan transportasi di Jawa, Sumatera dan daerah-daerah lainnya, seyogyanya tidak ditularkan ke wilayah Indonesia bagian timur. Di Indonesia bagian timur seyogyanyalah pemerintah tidak hanya membangun jalannya tetapi juga rel kereta api.
Kendaraan tradisional memiliki keuntungan-keuntungan yang tidak dimiliki kendaraan bermotor. Becak menurut Sartono Kartodirdjo dari Universitas Gadjah Mada mempunyai empat kelebihan. Becak sanggup menyelenggarakan pelayanan dari pintu ke pintu dan mengangkut segala macam barang atau penumpang. Konstruksinya sederhana, penanganannya gampang, tidak membutuhkan keterampilan teknis tinggi. Selanjutnya menyerap banyak tenaga kerja dan berbagai kota sistem angkutan ini lebih unggul daripada segala sistem angkutan kota lainnya (Kartodirdjo:1981).
Apabila semua itu bisa dimengerti, ada beberapa alternatif praktis yang bisa dilakukan oleh Pemda Salatiga untuk mengkordinasikan persoalan-persoalan di atas:
(1) Menghentikan pemanjaan kendaraan bermesin. Selama ini berbagai peraturan fasilitas parkir, pelebaran jalan dan berbagai perlakuan lain dari Pemda Salatiga. Misalnya pembatasan tempat-tempat parkir dan menarik ongkos yang proporsional. Lokasi dan cara parkir ditentukan dengan ketat.
(2) Mengijinkan kendaraan tradisional beroperasi dengan lebih leluasa. Pemda dalam hal ini bisa mengajak lembaga-lembaga yang terkait untuk mengadakan penelitian yang lebih dalam tentang masalah ini. Misalnya, memperbaiki teknologi dokar dan becak, membuat trotoar di setiap jalanan, meneliti kemungkinan membuat jalur lambat dan jalur kendaraan bermotor, membuka jalan protokol bagi dokar, membina kesadaran masyarakat tentang transportasi modern yang baik dan sebagainya.
(3) Meningkatkan mutu pelayanan angkutan umum bermesin. Apabila pelayanan angkutan sangat buruk, tidaklah bisa disalahkan apabila warga masyarakat berlomba-lomba membeli kendaraan pribadi yang sangat boros akan ruas jalan itu. Karena itulah, Pemda Salatiga mau tidak mau harus menyediakan angkutan umum yang manusiawi, nyaman dan cukup cepat, misalnya, mengatur rute angkutan kota tampa melewati jalur gemuk kendaraan tradisional, melarang penumpang/awak angkutan umum merokok dalam kendaraan, memperbaiki teknologi angkutan kota dan sebagainya.
Tujuannya dari semua tindakan itu, sebenarnya sama dengan yang dikatakan anggota-anggota DPRD Salatiga. Rupa Ginting, Harun Abdul Hamid, Sumadiyono, Soekarno D.M dan kawan-kawan berujar sungguh mati tidak ada maksud kami untuk menghapus becak atau dokar. Saya merasa meragukan ungkapan mereka.
Saya baru percaya kalau benar-benar bermaksud demikian, jika sudah membuktikannya dengan melewati rekomendasi–rekomendasi di atas. Selama Jalan Sudirman masih terlarang bagi dokar, selama itu pula saya akan menganggap pemerintah Salatiga tidak bersungguh-sungguh dengan janjinya. Buktikanlah! Wahai, anggota-anggota DPRD Salatiga.
Andreas Harsono, mahasiswa Salatiga, bekerja buat Persatuan Sais Dokar.
No comments:
Post a Comment